Langsung ke konten utama

Dulu

Hai kamu. 
Apa kabar?
Aku masih saja tak percaya, kau begitu tega. Mempermainkan rasa dan berlaku seolah olah tak terjadi apa apa. Aku masih saja tak percaya,kau yang diawal begitu memperjuangkanku dengan sangat, kini semua itu menjadi apa yang masih saja tak kupercaya. Aku menyukaimu. Cinta. Sayang. Apa ini yang dulu selalu kau sebut sebut? Kau katakan padaku?  Iya ini, yang setelah bertemu yang baru semuanya beda? Kau ingin dia dan melupakan aku?Iya? Begitu rupanya. Lalu, dulu mengapa aku diperjuangkan mati matian jika sekarang aku kau matikan? Mengapa dulu kau mengucap memiki rasa jika yang terjadi hari ini adalah kepahitan? Ini rasa yang kau maksud akan kau ucapkan tapi tak sempat kau selesaikan? Untuk apa kau mengajaku melangkah berdampingan jika sekarang kau sendiri jugalah yang lari dengan kencang? Apa gunanya berjanji tak akan meninggalkan jika hari ini kau sendiri yang pergi tanpa alasan? Untuk apa dulu berkata akulah satu satunya, lalu kenapa ada dia? Mengapa dulu seolah aku sendiri yang memilikimu, tapi nyatanya kau memilih dia? Mengapa dulu kau menjadikanku kekasih jika akhirnya aku disisih? Mengapa kau memberi harapan?  Sekarang karena itu, aku yang harus menderita. Berusaha melupa untuk satu hal kecil yang membodohkan ini. Mengapa? Bisa kau jawab semua pertanyaan itu? Bisa? Tidak!.
Apa yang bisa kau katakan? Aku sontak berfikir dan bertanya pada diriku sendiri"bagaimana bisa aku mencintainya yang tak menginginkanku ada dihidupnya?". Semesta mejadikanku perempuan klasik. Perempuan yang mudah percaya. Aku yang terlalu percaya, dan dia yang memberiku banyak luka. Memang hanya luka kecil namun, bagaimana pun itu, sekecil kecilnya luka dia tetap akan jadi luka.  Tak bisa menjadi lupa yang menjelma menjadi kerinduan yang berujung pada pertemuan membahagiakan.
Kau tak tahu betapa sakitnya seorang aku yang menahan ini dari waktu kewaktu. Mencoba membuat seolah semuanya masih sama, masih baik baik saja. Karena yang sebenarnya adalah aku yang kini memang telah seperti ranting; ranting yang patah dan terpisah dari dahan lalu dilupakan oleh pohon .
Apakah ini balasan dari rasaku?  Rasaku yang terlalu klasik ini. Yang menganggap orang yang aku cinta hanya berjuang demi diriku saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Cinta Untuk Bapak

Lampung, July 2017   Aku menulis ini dengan perasaan penuh rindu, dengan menahan bulir bening yang menggantung dipelupuk mata,yang siap tumpah kapan saja. Bayangan yang tak ada dimasa laluku bahwa dimasa depan, aku harus jauh dari sosokmu. Tahun tahun sulit aku lewati tanpamu. Tahun tahun sulit yang digelayuti rindu temu. Gelisah jika dimasa depan kita belum sempat bertemu lagi, tapi aku sudah tidak dapat menatap mata dan senyumu.    Pak.Apakah kita bisa bertukar posisi?sebentar saja. Aku jadi bapak, bapak jadi aku.  Aku ingin bapak merasakan menjadi aku yang harus jauh dari bapak untuk kurun waktu yang tidak sebentar. Menahan rindu yang menyesakan dada,menahan ingin bercerita apa yang terjadi saat bapak tak ada disampingku. Aku ingin menangis dipelukmu pak, menumpahkan seluruh air mata yang kutahan ditahun tahun sulit yang ku lewati tanpa sosok bapak. Di pelukmu aku ingin menangis,menangis  sekencang kencangnya,saat aku tahu bahwa kita harus berjauhan sementara untuk kurun waktu y

Mengikhlaskanmu

Sebelumnya terima kasih karenamu perasaanku memang tidak bertepuk sebelah tangan. Kau tidak menjatuhkan aku yang sudah terbang tinggi untuk sebuah harapan dapat dekat denganmu. Kau juga tidak  pernah mengabaikan aku, meski dengan jelas ada seseorang lain yang jauh lebih mencintaimu dibandingkan aku. Kau sendiri yang memilih bersamaku. Dan terima kasih tidak membuat aku kecewa, meski jauh di sana ada hati yang jauh lebih terluka untuk ini. Setiap waktu dimana kita habiskan bersama, aku selalu bersyukur banyak atas itu. Terima kasih, karena kamu menjadi salah satu alasan dimana aku semangat bangun dipagi hari. Kamu juga, yang telah membuat hariku di hari dulu dengan cepatnya berlalu. Terima kasih untuk setiap hari bahagianya. Meski hanya dapat memandang punggungmu dari jauh sana, aku tetap menjadikan itu hari bahagia. Berjalan disisimu, itu sudah aku idamkan sejak sekian lama. Itu benar menjadi nyata. Semesta dengan nyata mengabulkan segala semoga. Dan aku begitu bahagia. Setiap lang